Menjelang persiapan menyambut malam,
ada yang tak biasa dengan kabut yang menyemburkan
aroma
belerang. Tak biasa pada malam yang mendadak senyap. Jalanan lengang.
Bahkan tak terdengar lagi bebunyian kentongan bersahutan dari gardu
ronda ujung desa. Sesekali hawa gerah menyeruak. Singup, begitu kata orang Jawa bilang. Mungkin sudah saatnya kita turun. Berapa jam lagi dia akan tiba dengan segera?
Mungkinkah ini pertanda?
Lantas,
bagaimana dengan bola api yang kulihat beberapa waktu sebelumnya? Juga,
abu tipis yang bersemburat diatas langit dan menutupi genting lapuk
warga desa? Mengapa kali ini aku tidak mendengar gemuruh apa-apa?
Gemuruh halus, lebih mirip dengkuran yang biasa kudengar jika aku lari
ke belakang gunung batu untuk menyendiri. Apakah yang salah?
Aku
bergegas. Aku tergesa. Aku. Kami semua berlari dengan terpaksa. Dengan
nafas yang melompat-lompat. Gemuruh itu kali ini bukan dengkuran biasa.
Aku tak mengenalinya lagi. Pun, abu juga bola api itu. Mereka datang
tanpa pertanda pun isyarat apa-apa.
Aku, dan mungkin kami semua,
dalam ketergesaan. Walau kami pun tak memungkiri, desa diatas sana sudah
binasa. Dengan beberapa tetangga yang enggan ikut turun, walau kami
telah memaksa, merajuk, membujuk dengan tangisan. Pasrah, hanya itu kata
mereka.
Kini, kami hanya bisa mengenang mereka yang (mungkin)
telah tiada. Bahkan, kami melihat sekenanya, onggokan mayat yang kaku
meregang nyawa. Hitam. Kelam. Mirip jelaga.
Hingga hari ini, aku
belum berani singgah ke desa yang telah binasa. Konon katanya,
menginjakkan kaki kesana, sanggup melepuhkan kaki hingga tak sanggup
berjalan.
Aku, dan juga yang kini berada di barak. Diantara
dengungan suara manusia, hanya bisa terdiam dalam lamunan. Melihat abu
yang berhamburan dari kejauhan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar