Sekolah zaman dulu, menurut mereka, mengajarkan budi pekerti yang
dipraktikkan. Murid-murid menghormati guru karena kewibawaannya. Guru di
lingkungan masyarakat mendapatkan tempat terhormat. Jika ada kegiatan
sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat, guru menjadi tempat
bertanya. Para orang tua berterima kasih karena guru mendidik anak-anak
mereka dengan tulus dan penuh pengabdian.
Murid-murid tidak pernah terdengar tawuran dengan sekolah lain.
Murid-murid yang telah lulus yang kemudian melanjutkan sekolah yang
lebih tinggi atau bekerja tiap Idul Fitri "sowan" kepada mantan gurunya.
Tak ada yang menyuruh murid-murid itu mendatangi guru.
Memang zaman terus berubah. Tantangan dan kendala dalam mendidik murid
berganti atau bahkan bertambah.
Namun, perkembangan zaman menghasilkan outcome pendidikan yang
oleh beberapa pihak dianggap mengecewakan, terutama dalam hal tata
krama, rasa kekeluargaan, kematangan emosi, dan keluhuran budi.
Tentu kesalahan bukan semata-mata ada di pundak guru. Guru hanya
merupakan bagian kecil dari sistem sosial yang rapuh sekarang ini.
Masyarakat sedang mengalami anomali, nilai-nilai lama dilepaskan
sedangkan nilai-nilai baru tidak sepenuhnya dipahami. Tokoh, pemimpin,
pejabat di tataran nasional sibuk dengan kekuasaan, jabatan, dan uang.
Di antara mereka banyak yang lalai terhadap "national and character building."
Harapan tinggal tersisa di pundak para tokoh panutan yang masih berpijak
pada hati nurani, yang jumlahnya semakin mengecil, mengecil, dan
mengecil.
Ayah dan Bunda, mari terus kita bangun SINERGI antar Guru dan Walimurid,
agar karakter anak yang kita inginkan bisa kita lahirkan. Hal ini perlu
dilakukan karena di masa ini arus informasi makin kencang, anak-anak
kita bisa melihat dan mendengar apa saja dari apa yang mereka tonton.
Tugas kita bersamalah untuk mengontrol itu semua, agar buah hati kita
TERDIDIK oleh GURU dan ORANGTUA di rumah, bukan terdidik oleh TELEVISI
di rumah. Kalau bukan kita, siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar