Jumat, 10 April 2015

Nyanyian Malam Buat Mbah Kohar



Nyanyian Malam Buat Mbah Kohar



Desa Pace pada saat malam telah bangkit  dan  sampai  pada puncaknya. Angin lewat meliukkan dedaunan, bergesek-gesekan dan menimbulkan alunan musik alam. Sedangkan binatang-binatang  malam menyanyikan lagu ritualnya. 
Listrik tenaga diesel telah padam. Kegelapan makin  menambah kesunyian. Cahaya yang tampak hanya dari lampu sentir dan lampu-lampu teplok dari rumah-rumah berbilik bambu yang tertutup  rapat. Di langit biru yang pekat, bulan bersembunyi di balik awan. Bintang-bintang gemerlap memenuhi ruang.
Tidak ada orang di jalan. Gardu ronda pun kosong. Hanya  Mbah Kromo, penjaga pasar desa, yang berada di luar rumah, tidur meringkuk kedinginan di los pasar di atas tikar dengan sarung menutupi tubuhnya. Tangannya sesekali berkibas untuk  mengusir dan mematikan nyamuk-nyamuk liar yang mengelilingi dirinya dengan dengungan yang mengganggu kenikmatan tidur dan sesekali hinggap di beberapa bagian tubuh yang tak terlindungi.
Suasana malam tiba-tiba terpecahkan oleh suara  mesin truk dari ujung desa Pace yang merupakan perbukitan hutan Jati. Truk merangkak menapaki jalan yang belum beraspal. Debu beterbangan. Seandainya siang, tentu  akan terlihat bagaimana pandangan tertutup debu sama sekali.
Mbah Kromo terjaga. Matanya terbuka. Pandangan yang samar, ia lihat truk yang lewat. Ada sekitar 3 orang duduk di depan, dan 5 orang  di bak belakang di antara tumpukan kayu-kayu jati. Mbah Kromo  menahan nafas dan gerak. Tubuhnya masih  meringkuk saja. Mbah Kromo merasa bahwa orang-orang di atas truk pasti memperhatikannya. Ia pura-pura tetap tertidur. Menurutnya, inilah jalan ter-aman yang dapat dilakukan.
Truk telah lewat. Suaranya makin menjauh. Pada beberapa rumah terlihat bayangan yang berkelebat, ada  horden yang bergerak menutup penuh jendela. Setidaknya ada yang mencoba mengintip truk yang lewat. Mbah Kromo bangkit, menyilangkan sarung di pundaknya.
Angin lewat menerpa tubuhnya. Atap los pasar yang terbuat dari seng kejatuhan ranting pohon randu. Cukup mengejutkan Mbah Kromo.Ia mengambil nafas panjang dan menghembuskannya. Secara  perlahan ia berdiri, melangkah menuju pinggiran jalan dan matanya menatap ke  arah truk pergi. Sudah tak tampak apa-apa. Nafas Mbah Kromo terdengar tak teratur. Tangannya terkepal. Matanya menerobos kegelapan. Giginya bergemeletuk menahan geram. Lama ia berdiri di sana. “Oh Tuhan,” terdengar ia berdesis perlahan.
Mbah Kromo kembali ke tempat semula, ia baringkan tubuhnya. Ia  mencoba memejamkan mata melanjutkan tidurnya. Pikiran yang tidak tenang, dada yang bergejolak, membuatnya tak mampu  berlari ke dunia mimpi. Matanya lemah memandang langit-langit los  pasar. Pikirannya berlari kencang menembus ruang dan  waktu. Kelebatan kejadian yang tidak mengenakkan. Sesak nafasnya. Air mata perlahan mengalir.
“Oh,  Giman,” ia sebut nama anak tunggalnya yang telah lama pergi untuk tidak kembali. Tangannya terkepal. Angin terus saja lewat  bersama sang waktu. Mbah Kromo merasakan kesepian  teramat sangat. Istrinya sudah sepuluh tahun yang lalu  kembali  kepada sang Pencipta. Giman, anaknya menyusul dua  tahun  yang  lalu.
Menyusul dengan nasib yang tragis. Kerinduan yang menyelusup jadi teramat menyiksa. Harapan bertemu hanya khayal belaka. “Ah,” Mbah Kromo hanya bisa mendesis pasrah. Terdengar kokokan ayam jantan pertama. Lama kemudian suara adzan Subuh berkumandang. Ia bangkit, menuju masjid dekat pasar.
*****
Pasar mulai ramai. Pak Kromo duduk di lincak dekat tempat parkir sepeda. Kerut-kerut di wajahnya sangat tampak. Matanya agak  merah dan kelihatan kosong. Kedua tangannya bertumpu pada dengkul membuat badannya sedikit membungkuk. Uadara pagi yang segar terasa tak mampu menggairahkan tubuhnya.
Mbah Bejo, kawannya sejak kecil datang menuntun sepeda dan langsung memarkirnya di dekat pintu masuk. Setelah itu, ia duduk di samping Mbah Kromo. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan bungkusan plastik berisi tembakau dan campurannya, kertas lintingan dan korek api.
Mbah  Bejo menawarkan tembakaunya ke Mbah Kromo. Mbah Kromo hanya menggeleng sambil  menghembuskan nafas perlahan.
“Mereka sudah keterlaluan. Masak pohon jati di pinggir jalan juga digasak,” suara berbisik Mbah Bejo sambil membuat lintingan dengan dua kertas yang digabung sehingga menjadi panjang. Selesai, ia selipkan di bibir, menggoreskan korek api, dan menyalakan lintingan seraya matanya memandangi orang-orang yang lalu lalang dan tawar menawar barang.
“Kita semua pengecut. Membiarkan itu semua terjadi tanpa bertindak apa-apa,” gugatan berbisik dari Mbah Bejo lagi sambil menggeserkan duduknya hingga rapat dengan Mbah Kromo.
Mbah Kromo seolah tidak mendengar. Ia bangkit lalu menunjukkan kepada seorang ibu setengah tua yang baru datang menuntun sepedanya sebuah tempat yang masih kosong. Ia membantu  memindahkan sepeda  yang ada sehingga ibu itu dengan  mudah memarkir sepedanya. Ia berikan karcis parkir. Ibu itu melemparkan senyum ramah.  “Kelihatan  pucat Mbah,” komentarnya.  Mbah  Kromo  hanya membalasnya dengan senyum.
“Banyak orang semalam?” Mbah Bejo melontarkan pertanyaan ketika Mbah Kromo telah kembali duduk di sampingnya.
Mbah  Kromo memandang tajam kepadanya. “Sudahlah Jo, jangan bicarakan tentang itu!” nada suaranya tinggi.
“Lho, lho, lho, kok marah toh Kang?” Mbah Bejo tanpa rasa bersalah. Asap keluar tak berirama bersamaan dengan kata-kata. Ia terbatuk kecil. “Aku cuma bertanya saja, kok,”
Mbah Kromo diam.Matanya memandang ke bukit yang kelihatan telah gundul. Mbah Bejo menghisap lintingannya dalam-dalam.
Sengatan matahari kian panas. Cahayanya telah jatuh bebas. Sampai pula ke tempat duduk mereka.
“Kamu ingat Giman, anakmu sendiri?” suara Mbah Bejo tampak datar. Namun kata-kata itu telah memancing emosi Mbah Kromo. Ia bangkit, menarik kerah Mbah Bejo dengan kasar. Tangannya yang telah terkepal hampir saja melayang. Tiba-tiba ia  mengendurkan pegangannya dan tangannya yang tergenggam jatuh terkulai.
“Maafkan aku,” kata Mbah Bejo yang wajahnya telah memucat. “Bukan maksudku untuk melukai hatimu. Aku cuma ingin meyakinkan bahwa kau masih punya amarah. Aku ingin mengajakmu untuk  bertindak.  Bagaimana kalau kita laporkan saja ke pemerintah pusat. Di kabupaten ini tidak akan berarti apa-apa,”
Mbah Kromo menggeleng.
“Anakmu  telah mati, Kang. Mereka telah memperdayainya. Memberi satu batang jati tetapi sesungguhnya mereka mencari kambing hitam.  Masak bukit semakin kelihatan gundul tapi tidak ada pencurinya. Anakmu telah menjadi sasaran. Ia telah dibunuh sebagai pencuri jati yang lama berkeliaran. Ah, dasar kalau orang punya kuasa…”
“Jangan kau ungkit tentang anakku,” Mbah Kromo nada suaranya bergetar. Kembali bayang anaknya hadir. Anak tunggal, anak yang disayanginya, anak yang menjadi tumpuan hidupnya. Ah.
“Bagaimana, Kang kalau lapor ke pemerintah pusat?”
“Percuma. Tanah tempat tinggalmu saja mereka yang mengatur. Mau keluargamu diusir? Mau kau seperti aku yang  tidur di los pasar?” tanya Mbah  Kromo membuat  nafas  Mbah  Bejo  tersedak. “Biarkan  saja.  Kita semua hanya menumpang. Hidup kita mereka yang menentukan. Mereka dapat mengusir setiap saat dengan berbagai alasan,”
“Tapi aku sudah muak dengan mereka. Jebloskan saja mereka ke penjara,”
“Kita  semua sudah muak. Hidup bagai penjara. Setiap mereka naik bukit, kita harus segera masuk rumah menutup  pintu rapat-rapat. Seperti jaman penjajah dulu,”
Mbah Bejo menghela nafas. Mbah Kromo juga. Pembicaraan mereka terhenti. Pikiran keduanya berputar-putar seperti gasing mencari tempat berhenti.
Waktu  terus beranjak. Satu persatu orang-orang pulang.  Satu per satu para penjual berbenah. Sampai pasar menjadi sepi. Tinggal beberapa orang saja. Termasuk Mbah Kromo dan Mbah Bejo. Mbah Bejo pun akhirnya pamit.
Mbah Kromo yang masih memainkan gasing dalam pikirannya. Berputar-putar. Berputar-putar. Berputar-putar. Masih terus mencoba  mencari tempat berhenti. Sampai kemudian ia tersenyum sendiri. Ia melihat Yu Sum pedagang es yang hendak beranjak pulang. Ia mendekati dan meminjam tusukan es.
* * *
Malam  itu, menjelang listrik diesel padam, terdengar suara truk lewat. Orang-orang segera masuk ke dalam rumah.  Pintu-pintu segera tertutup rapat. Pak Kromo cepat meringkukkan tubuhnya.
Truk lewat menuju ujung desa Pace, ke kaki bukit. Pikiran Mbah kromo berkecamuk. Lama setelah truk lewat, setelah tiada terdengar lagi suara mesinnya, Mbah Kromo bangkit. Matanya mengamati sekelilingnya. Ia lalu mengambil sebuah benda tajam, tusukan es, yang diletakkannya di selipan kayu dekat atap.
Listrik  diesel padam sudah. Malam begitu gelap, hanya  sinar rembulan berusaha  mengajak bersenda gurau.  Mbah Kromo seakan sudah  tidak mau ambil pusing lagi. Ia menerobos malam melewati kebun-kebun dengan langkah hati-hati sampai ujung desa. Di  sana terlihat truk yang tengah berhenti. Mbah Kromo  bersembunyi di balik  pohon  asam.  Dilihatnya ada beberapa  orang yang tengah menaiki bukit. Muncul kegeraman dalam dirinya. Ia berusaha untuk bersabar.
Kemudian  Mbah  Kromo mengendap perlahan mendekati belakang truk  dan membungkuk  di sebelah kanannya. Ada dua orang yang tampak berjaga-jaga di sisi depan dekat kemudi. Tubuh mereka tampak tegap dengan rambut pendek. Jaket kulit hitam menutup tubuh mereka. Keduanya asyik menikmati rokok kretek sambil berbincang-bincang.
Mbah Kromo menghilangkan keragu-raguannya. Tusukan es yang telah dipersiapkannya digenggam erat. Ia tancapkan di ban berkali-kali. Lalu melangkah ke kiri dan mengulangi hal yang sama. Ia menarik nafas pelan. Mengendap meninggalkan tempat itu dan kembali ke los pasar.
Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia mencoba berbaring.  Dadanya  tetap saja berguncang-guncang. Dalam keheningan  malam  yang mencekam, Mbah Kromo sangat sadar apa yang akan terjadi  padanya. “Giman, oh Giman,” panggilan lirih.
Tiba-tiba ia merasa Giman hadir. Berada di hadapannya. Tubuhnya  masih kukuh penuh tenaga. Kulitnya yang hitam ditimpa  sinar rembulan. Giman melemparkan senyum. Dada Mbah  Kromo  bergejolak tidak  karuan.
“Aduh, anak lanang anak kebanggaan,” seru Mbah Kromo. Giman mengembangkan kedua tangannya, berlari. Mbah  Kromo turut mengembangkan tangannya, juga berlari. Mereka hampir  saja berpelukan. Namun  sebuah akar pohon menjegal  Mbah  Kromo  yang membuatnya terjatuh.
“Oh, Giman,” keluhnya. Tak tampak siapa-siapa. Wajah rembulan diterkam awan hitam. Samar terdengar langkah-langkah tegap mendekat.  Mbah Kromo mendengarnya. Ya, ia mendengarnya. “Oh,  Tuhan,” desisnya. Namun ia mencoba tersenyum.

Tidak ada komentar: