Nyanyian Malam Buat Mbah Kohar
Desa Pace pada saat malam telah bangkit
dan sampai pada puncaknya. Angin lewat meliukkan dedaunan,
bergesek-gesekan dan menimbulkan alunan musik alam. Sedangkan binatang-binatang
malam menyanyikan lagu ritualnya.
Listrik tenaga diesel telah padam. Kegelapan
makin menambah kesunyian. Cahaya yang tampak hanya dari lampu sentir dan
lampu-lampu teplok dari rumah-rumah berbilik bambu yang
tertutup rapat. Di langit biru yang pekat, bulan bersembunyi di balik
awan. Bintang-bintang gemerlap memenuhi ruang.
Tidak ada orang di jalan. Gardu ronda pun kosong.
Hanya Mbah Kromo, penjaga pasar desa, yang berada di luar rumah, tidur
meringkuk kedinginan di los pasar di atas tikar dengan sarung menutupi
tubuhnya. Tangannya sesekali berkibas untuk mengusir dan mematikan
nyamuk-nyamuk liar yang mengelilingi dirinya dengan dengungan yang mengganggu
kenikmatan tidur dan sesekali hinggap di beberapa bagian tubuh yang tak
terlindungi.
Suasana malam tiba-tiba terpecahkan oleh suara
mesin truk dari ujung desa Pace yang merupakan perbukitan hutan Jati.
Truk merangkak menapaki jalan yang belum beraspal. Debu beterbangan. Seandainya
siang, tentu akan terlihat bagaimana pandangan tertutup debu sama sekali.
Mbah Kromo terjaga. Matanya terbuka. Pandangan
yang samar, ia lihat truk yang lewat. Ada sekitar 3 orang duduk di depan, dan 5
orang di bak belakang di antara tumpukan kayu-kayu jati. Mbah Kromo
menahan nafas dan gerak. Tubuhnya masih meringkuk saja. Mbah Kromo
merasa bahwa orang-orang di atas truk pasti memperhatikannya. Ia pura-pura
tetap tertidur. Menurutnya, inilah jalan ter-aman yang dapat dilakukan.
Truk telah lewat. Suaranya makin menjauh. Pada
beberapa rumah terlihat bayangan yang berkelebat, ada horden yang
bergerak menutup penuh jendela. Setidaknya ada yang mencoba mengintip truk yang
lewat. Mbah Kromo bangkit, menyilangkan sarung di pundaknya.
Angin lewat menerpa tubuhnya. Atap los pasar yang
terbuat dari seng kejatuhan ranting pohon randu. Cukup mengejutkan Mbah Kromo.Ia mengambil nafas panjang dan
menghembuskannya. Secara perlahan ia berdiri, melangkah menuju pinggiran
jalan dan matanya menatap ke arah truk pergi. Sudah tak tampak apa-apa.
Nafas Mbah Kromo terdengar tak teratur. Tangannya terkepal. Matanya menerobos
kegelapan. Giginya bergemeletuk menahan geram. Lama ia berdiri di sana. “Oh
Tuhan,” terdengar ia berdesis perlahan.
Mbah Kromo kembali ke tempat semula, ia baringkan
tubuhnya. Ia mencoba memejamkan mata melanjutkan tidurnya. Pikiran yang
tidak tenang, dada yang bergejolak, membuatnya tak mampu berlari ke dunia
mimpi. Matanya lemah memandang langit-langit los pasar. Pikirannya
berlari kencang menembus ruang dan waktu. Kelebatan kejadian yang tidak
mengenakkan. Sesak nafasnya. Air mata perlahan mengalir.
“Oh, Giman,” ia sebut nama anak tunggalnya
yang telah lama pergi untuk tidak kembali. Tangannya terkepal. Angin terus saja
lewat bersama sang waktu. Mbah Kromo merasakan kesepian teramat
sangat. Istrinya sudah sepuluh tahun yang lalu kembali kepada sang
Pencipta. Giman, anaknya menyusul dua tahun yang lalu.
Menyusul dengan nasib yang tragis. Kerinduan yang
menyelusup jadi teramat menyiksa. Harapan bertemu hanya khayal belaka. “Ah,”
Mbah Kromo hanya bisa mendesis pasrah. Terdengar kokokan ayam jantan pertama.
Lama kemudian suara adzan Subuh berkumandang. Ia bangkit, menuju masjid dekat
pasar.
*****
Pasar mulai ramai. Pak Kromo duduk di lincak dekat
tempat parkir sepeda. Kerut-kerut di wajahnya sangat tampak. Matanya agak
merah dan kelihatan kosong. Kedua tangannya bertumpu pada dengkul membuat
badannya sedikit membungkuk. Uadara pagi yang segar terasa tak mampu
menggairahkan tubuhnya.
Mbah Bejo, kawannya sejak kecil datang menuntun
sepeda dan langsung memarkirnya di dekat pintu masuk. Setelah itu, ia duduk di
samping Mbah Kromo. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan bungkusan plastik berisi
tembakau dan campurannya, kertas lintingan dan korek api.
Mbah Bejo menawarkan tembakaunya ke Mbah
Kromo. Mbah Kromo hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas perlahan.
“Mereka sudah keterlaluan. Masak pohon jati di
pinggir jalan juga digasak,” suara berbisik Mbah Bejo sambil membuat lintingan
dengan dua kertas yang digabung sehingga menjadi panjang. Selesai, ia selipkan
di bibir, menggoreskan korek api, dan menyalakan lintingan seraya matanya
memandangi orang-orang yang lalu lalang dan tawar menawar barang.
“Kita semua pengecut. Membiarkan itu semua
terjadi tanpa bertindak apa-apa,” gugatan berbisik dari Mbah Bejo lagi sambil
menggeserkan duduknya hingga rapat dengan Mbah Kromo.
Mbah Kromo seolah tidak mendengar. Ia bangkit
lalu menunjukkan kepada seorang ibu setengah tua yang baru datang menuntun
sepedanya sebuah tempat yang masih kosong. Ia membantu memindahkan sepeda
yang ada sehingga ibu itu dengan mudah memarkir sepedanya. Ia
berikan karcis parkir. Ibu itu melemparkan senyum ramah. “Kelihatan
pucat Mbah,” komentarnya. Mbah Kromo hanya membalasnya
dengan senyum.
“Banyak orang semalam?” Mbah Bejo melontarkan
pertanyaan ketika Mbah Kromo telah kembali duduk di sampingnya.
Mbah Kromo memandang tajam kepadanya.
“Sudahlah Jo, jangan bicarakan tentang itu!” nada suaranya tinggi.
“Lho, lho, lho, kok marah toh Kang?”
Mbah Bejo tanpa rasa bersalah. Asap keluar tak berirama bersamaan dengan
kata-kata. Ia terbatuk kecil. “Aku cuma bertanya saja, kok,”
Mbah Kromo diam.Matanya memandang ke bukit yang
kelihatan telah gundul. Mbah Bejo menghisap lintingannya dalam-dalam.
Sengatan matahari kian panas. Cahayanya telah
jatuh bebas. Sampai pula ke tempat duduk mereka.
“Kamu ingat Giman, anakmu sendiri?” suara Mbah
Bejo tampak datar. Namun kata-kata itu telah memancing emosi Mbah Kromo. Ia
bangkit, menarik kerah Mbah Bejo dengan kasar. Tangannya yang telah terkepal
hampir saja melayang. Tiba-tiba ia mengendurkan pegangannya dan tangannya
yang tergenggam jatuh terkulai.
“Maafkan aku,” kata Mbah Bejo yang wajahnya telah
memucat. “Bukan maksudku untuk melukai hatimu. Aku cuma ingin meyakinkan bahwa
kau masih punya amarah. Aku ingin mengajakmu untuk bertindak.
Bagaimana kalau kita laporkan saja ke pemerintah pusat. Di kabupaten ini
tidak akan berarti apa-apa,”
Mbah Kromo menggeleng.
“Anakmu telah mati, Kang. Mereka telah
memperdayainya. Memberi satu batang jati tetapi sesungguhnya mereka mencari
kambing hitam. Masak bukit semakin kelihatan gundul tapi tidak ada
pencurinya. Anakmu telah menjadi sasaran. Ia telah dibunuh sebagai pencuri jati
yang lama berkeliaran. Ah, dasar kalau orang punya kuasa…”
“Jangan kau ungkit tentang anakku,” Mbah Kromo
nada suaranya bergetar. Kembali bayang anaknya hadir. Anak tunggal, anak yang
disayanginya, anak yang menjadi tumpuan hidupnya. Ah.
“Bagaimana, Kang kalau lapor ke pemerintah
pusat?”
“Percuma. Tanah tempat tinggalmu saja mereka yang
mengatur. Mau keluargamu diusir? Mau kau seperti aku yang tidur di los
pasar?” tanya Mbah Kromo membuat nafas Mbah Bejo
tersedak. “Biarkan saja. Kita semua hanya menumpang. Hidup
kita mereka yang menentukan. Mereka dapat mengusir setiap saat dengan berbagai
alasan,”
“Tapi aku sudah muak dengan mereka. Jebloskan
saja mereka ke penjara,”
“Kita semua sudah muak. Hidup bagai
penjara. Setiap mereka naik bukit, kita harus segera masuk rumah menutup
pintu rapat-rapat. Seperti jaman penjajah dulu,”
Mbah Bejo menghela nafas. Mbah Kromo juga.
Pembicaraan mereka terhenti. Pikiran keduanya berputar-putar seperti gasing
mencari tempat berhenti.
Waktu terus beranjak. Satu persatu
orang-orang pulang. Satu per satu para penjual berbenah. Sampai pasar
menjadi sepi. Tinggal beberapa orang saja. Termasuk Mbah Kromo dan Mbah Bejo.
Mbah Bejo pun akhirnya pamit.
Mbah Kromo yang masih memainkan gasing dalam
pikirannya. Berputar-putar. Berputar-putar. Berputar-putar. Masih terus mencoba
mencari tempat berhenti. Sampai kemudian ia tersenyum sendiri. Ia melihat
Yu Sum pedagang es yang hendak beranjak pulang. Ia mendekati dan meminjam
tusukan es.
* * *
Malam itu, menjelang listrik diesel padam,
terdengar suara truk lewat. Orang-orang segera masuk ke dalam rumah. Pintu-pintu
segera tertutup rapat. Pak Kromo cepat meringkukkan tubuhnya.
Truk lewat menuju ujung desa Pace, ke kaki bukit.
Pikiran Mbah kromo berkecamuk. Lama setelah truk lewat, setelah tiada terdengar
lagi suara mesinnya, Mbah Kromo bangkit. Matanya mengamati sekelilingnya. Ia
lalu mengambil sebuah benda tajam, tusukan es, yang diletakkannya di selipan
kayu dekat atap.
Listrik diesel padam sudah. Malam begitu
gelap, hanya sinar rembulan berusaha mengajak bersenda gurau.
Mbah Kromo seakan sudah tidak mau ambil pusing lagi. Ia menerobos
malam melewati kebun-kebun dengan langkah hati-hati sampai ujung desa. Di
sana terlihat truk yang tengah berhenti. Mbah Kromo bersembunyi di
balik pohon asam. Dilihatnya ada beberapa orang yang
tengah menaiki bukit. Muncul kegeraman dalam dirinya. Ia berusaha untuk
bersabar.
Kemudian Mbah Kromo mengendap
perlahan mendekati belakang truk dan membungkuk di sebelah
kanannya. Ada dua orang yang tampak berjaga-jaga di sisi depan dekat kemudi.
Tubuh mereka tampak tegap dengan rambut pendek. Jaket kulit hitam menutup tubuh
mereka. Keduanya asyik menikmati rokok kretek sambil berbincang-bincang.
Mbah Kromo menghilangkan keragu-raguannya.
Tusukan es yang telah dipersiapkannya digenggam erat. Ia tancapkan di ban
berkali-kali. Lalu melangkah ke kiri dan mengulangi hal yang sama. Ia menarik
nafas pelan. Mengendap meninggalkan tempat itu dan kembali ke los pasar.
Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia mencoba
berbaring. Dadanya tetap saja berguncang-guncang. Dalam keheningan
malam yang mencekam, Mbah Kromo sangat sadar apa yang akan terjadi
padanya. “Giman, oh Giman,” panggilan lirih.
Tiba-tiba ia merasa Giman hadir. Berada di
hadapannya. Tubuhnya masih kukuh penuh tenaga. Kulitnya yang hitam
ditimpa sinar rembulan. Giman melemparkan senyum. Dada Mbah
Kromo bergejolak tidak karuan.
“Aduh, anak lanang anak
kebanggaan,” seru Mbah Kromo. Giman mengembangkan kedua tangannya, berlari.
Mbah Kromo turut mengembangkan tangannya, juga berlari. Mereka hampir
saja berpelukan. Namun sebuah akar pohon menjegal Mbah
Kromo yang membuatnya terjatuh.
“Oh, Giman,” keluhnya. Tak tampak siapa-siapa.
Wajah rembulan diterkam awan hitam. Samar terdengar langkah-langkah tegap
mendekat. Mbah Kromo mendengarnya. Ya, ia mendengarnya. “Oh, Tuhan,”
desisnya. Namun ia mencoba tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar